Selasa, 16 Oktober 2012

Unsur Utama Pembentuk Wacana




Konsep Kohesi dan Koherensi

            Kohesi dan koherensi tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Sebuah teks terutama teks tulis memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Sejalan dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh menayaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatika dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi, subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi leksikal adalah sinonimi, repetisi, kolokasi.
            Sejalan dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan Abdul Rani, Bustanul arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsure bahasa. Gutwinsky (dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran leksikal. Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk mengetahui pemahaman tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan sintaksis). Oleh karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar bahasa). Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut H. G. Tarigan (dalam Mulyana, 2005: 26) mengemukakan bahwa penelitian mengenai kohesi menjadi bagian dari kajian aspek formal bahasa. Oleh karena itu, organisasi dan struktur kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik gramatikal.
            Brown dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat Anton M. Moeliono ( dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks; pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik. Maka untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh diharapkan kalimat-kalimatnya harus utuh. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam suatu wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan ketergantungan unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran penanda khusus yang bersifat lingual formal.
            Kohesi dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pembedaan tesebut dapat di jabarkan dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini merupakan bagian dari kohesi endosentris. Karena kohesi dibagi menjadi dua ada kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri dari: referensi, subtitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi. Sedangkan konjungsi leksikal terdiri dari: sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, repetisi dan ekuivalensi.
            Untuk membentuk wacana yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan hubungan kohesi. Menurut Cook (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 872) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak cukup meggunakan penanda katon tersebut. Ada faktor lain seperti relevansi dan faktor tekstual luar (extratextual factor) yang ikut menentukan keutuhan wacana. Kesesuaian antara teks dan dunia nyata dapat membantu menciptakan suatu kondisi untuk membantuk wacana yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang juga membantu dalam menciptakan koherensi teks. Agar wacana yang kohesif baik, maka perlu dilengkapi dengan koherensi. Menurut Abdul Rani, dkk (2006:89) yang dimaksud koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana.
            Mulyana (2005: 30) di dalam bukunya yang berjudul “Kajian Wacana” banyak mengutip pendapat-pendapat ahli berkaitan dengan koherensi. Adapun pendapat tersebut adalah sebagai berikut, menurut H. G. Tarigan (1987) istilah koherensi mengandung makna pertalian, dalam konesp kewacanaan berarti pertalian makna atau isi kalimat. Gorys Keraf (1984) menyatakan bahwa koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi antarunsur dalam kalimat. Sejalan dengan pendapat tersebut Wahjudi (1989) berpendapat bahwa hubungan koherensi keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Sedangkan Samiati (1989) berpendapat bahwa wacana yang koheren memiliki cirri-ciri: susunanya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga muda diintepretasikan. Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2006: 30) yang menegaskan bahwa berarti keterpaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan.
            Dalam sebuah wacana aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menjaga pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makana yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantik. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
            Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantic, yakni semantic kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Keberadaan unsure koherensi sebetulnya tidak hanya pada satuan teks semata (scara formal), malainkan pada kemampuan pembaca atau pendengar dlam menghubungkan dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Maka dari pendapat tersebut diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) hubungan koherensi adalah sutau rangkaian fakta dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Pendapat tersebut juga diyakini oleh Yayat Sudaryat (2008: 152) koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wAcana. Meskipun begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara. Maka koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai organisasi semantic, wadah gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan yang tepat.

Pemarkah Kohesi dan Koherensi
1.                  Pemarkah Kohesi
a)                  Referensi atau pengacuan
Adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satua lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau mengikutinya.berdasarkan tempatnya pengacua ini dibedakan menjadi dua yaitu:
a.                   Endofora, acuannya terdapat dalam teks wacana.
b.                  Eksofora, pengacuannya berada di luar teks wacana.
b)                  Subsitusi penyulihan
Subsitusi adalah salah satu jeis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (sumarlam, 2003: 2008).
 Contoh: banya benar buah mangga itu berilah saya beberapa.
Jadi di sini beberapa adalah subsitusi dari mangga.
c)                  Elipsis atau pelesapan
Adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya (Suarlam, 2003: 30). Elipsis disebut juga dengan penghilangan salah satu bagian dari unsur kalimat yang sering ditemukan dalam wacana (Ramlan,1984:18)
d)                 Konjungsi atau perangkaian
Adalah salah satu jeniskohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2003: 32). Secara umum konjungsi dibagi menjadi lima macam yaitu: konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif, konjungsi antar kalimat, dan konjungsi antar paragraf.
e)                  Repetisi atau pengulangan
Merupakan slaah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Repetisis adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalams ebuah konteks yang sesuai (Sumarlam 2003:35).
2.                  Pemarkah koherensi
a.                   Hubungan makna kausalitas
Hubungan makna kausalitas adalah hubungan sebab akibat yng terjadi antar kalimat atau paragraf, bagian yang satu bermakna sebab dan bagian yang lain bermakna akibat.
Contoh: penulis menyadari skripsi itu masih banyak kekurangannnya. Untuk itu, penulis berharap saran, kritik, dan masukkan yang kontruktif demi perbaikan selanjutnya.
Kalimat pertama bermakna sebab yaitu skripsi bnyak kekurangannya. Makna kedua sebagai akibat yaitu penulis berharap saran.
b.                  Hubungan makna amplikatif
Amplikatif itu berarti penjelasan. Hubungan seperti ini terjadi bila satu bagian tertentu diperjelas oleh bagian lainnya secara semantis.
c.                   Hubungan makna tambahan
Hubungan makna penambhan terjdi apabila bagian lain atau kalimat lain berfungsi sebagai penambh yang lainnya.
                                                                                                 

jenis-jenis wacana


JENIS-JENIS WACANA
A.  Wacana Berdasarkan Realitas
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa isyarat). Wacana nonbahasa yang berupa isyarat, antara lain berupa:
1.    Isyarat dengan gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:
a.       Gerakan mata, antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah kita menentukan maknanya. Misalnya, melotot = marah; melotot = ’menyuruh pergi’, dan sebagainya).
b.      Gerak bibir, antara lain senyum, tertawa, meringis.
c.       Gerak kepala, antara lain mengangguk, menggeleng.
d.      Perubahan raut muka (wajah), antara lain mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam.
2.    Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
a.       Gerak tangan, antara lain melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.
b.      Gerak kaki, antara lain mengayun-ayun, menghentak-hentakkan, menendang-nendang.
c.       Gerak seluruh tubuh, antara lain seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana sebagai teks.
B.  Wacana Berdasarkan Media Komunikasi
1.    Wacana tulis
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis.
Menurut Mulyana (2005:51-52) wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.
Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf) sedangkan gambar tidak termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat dimasukkan pula kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari Mukti Kridalaksana dalam Mulyana (2005:52), wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan yang utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang lengkap dan cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud antara lain:
a.       Sebuah teks/ bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah.
b.      Sebuah alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
c.       Sebuah wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
2.    Wacana lisan
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan.
Menurut Mulyana (2005:52) wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasrnya bahasa kali pertama lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang paling utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.
Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa kelebihan wacana lisan di antaranya ialah:
a.    Bersifat alami (natural) dan langsung.
b.    Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).
c. Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat).
d. Berlatar belakang konteks situasional.
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau dihasilkan dalam waktu dan situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk wacana lisan terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai siapa yang berbicara (kepada siapa) apabila (waktunya). Dengan perkataan lain, dalam wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti:
a. Siapa yang berbicara
b. Kepada siapa
c. Apabila; pada saat yang nyata
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:7) sebagai media komunikasi, wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan) lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya berupa:
a.    Sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi.
b.    Satu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap, biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa) yang berupa:
Ica : .........................
Ania : “Apakah kau punya korek?”
Rudi : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi.”
Penggalan wacana ini berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi yang komunikatif.



C.  Wacana Berdasarkan Cara Pengungkapan
1.    Wacana langsung
Wacana langsung atau direct discourse adalah kutipan wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi (Kridalaksana dalam Henry Guntur Tarigan, 1987:55).
2.    Wacana Tidak Langsung
Wacana tidak langsung atau indirect discourse adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya. (Kridalaksana, 1964: 208-9).
D.  Wacana Berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)
1.    Wacana naratif (narasi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:8) wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku. Isi wacana ditujukan ke arah memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:45-46) wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi terdapat unsu-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur pergeseran waktu itu sangat pentng. Unsur pelaku atau tokoh merupakan pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa adalah hal-hal yang dialami oleh sang pelaku.
Wacana narasi pada umumnya ditujukan untuk menggerakan aspek emosi. Dengan narsi, penerima dapat membentuk citra atau imajinasi. Aspek intelektual tidak banyak digunakan dalam memahami wacana narasi.
2.    Wacana deskriptif (deskripsi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:11) wacana deskriptif berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Wacana itu biasanya bertujuan mencapai penghayatan dan imjinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Wacana deskriptif ini, ada yang hanya memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang memaparkannya secara imajinatif. Pemaparan secara objektif bersifat menginformasikan sebagaimana adanya, sedangkan pemaparan secara imajinatif bersifat menambahkan daya khayal. Daya khayal yang didapatkan didalam novel atau cerpen, atau isi karya sastra pada umumnya.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:37-38) wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima pesan agar membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal. Aspek kejiwaan yang dapat mencerna wacana tersebut adalah emosi. Hanya melalui emosi, seseorang dapat membentuk citra atau imajinasi tentang sesuatu. Oleh sebab itu, ciri khas wacana deskripsi ditandai dengan pengggunaan kata-kata atau ungkapan yang bersifat deskriptif, seperti rambutnya ikal, hidungnya mancung, dan matanya biru. Dalam wacana ini biasanya tidak digunakan kata-kata yang bersifat evaluatif yang terlalu abstrak seperti, tinggi sekali, berat badan tidak seimbang, matanya indah, dan sebagainya.
Wacana deskripsi banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-data kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif. Wacana deskripsi cenderung tidak mempunyai penanda pergeseran waktu seperti dalam wacana narasi.
3.    Wacana Prosedural (Eksposisi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:9) wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Wacana prosedural disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan sesuatu.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi, diperlukan proses berpikir.
Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Oleh karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses atau prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan prosedur, kalimat-kalimat yang digunakan dapat berupa kalimat perintah disertai dengan kalimat deklaratif.


4.    Wacana Hortatori (Argumentasi)
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis maupun emosional (Rottenberg, 1988:9). Senada dengan itu, Salmon (1984:8) memberikan definisi argumentasi sebagai seperangkat kalimat yang disusun sedemikian rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat itu.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10) wacana hortatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk menyakinkan. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil. Wacana ini digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar terpikat akan suatu pendapat yang dikemukakan. Isi wacana selalu berusaha untuk memiliki pengikut atau penganut, atau paling tidak menyetujui pendapat yang dikemukakannya itu, kemudian terdorong untuk melakukan atau mengalaminya. Yang termasuk wacana hortatori antara lain khotbah, pidato tentang politik.
Sebuah wacana dikategorikan argumentasi apabila bertolak dari adanya isu yang sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra tutur. Dalam kaitannya dengan isu tersebut, penutur berusaha menjelaskan alasan-alasan yang logis untuk meyakinkan mitra tuturnya (pembaca atau pendengar). Biasanya, suatu topik diangkat karena mempunyai nilai, seperti indah, benar, baik, berguna, efektif atau sebaliknya.
Pada dasarnya, kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam mengemukakan tiga prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan, alasan, dan pembenaran. Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur dalam menentukan posisi. Alasan mengacu pada kemampuan penutur untuk mempertahakn pernyataannya dengan memberikan alasan-alasan yang relevan. Pembenaran mengacu pada kemampuan penutur dalam menunjukkan hubungan antara pernyataan dan alasan.
5. Wacana Ekspositori
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10-11) wacana ekpositori bersifat menjelaskan sesuatu. Biasanya berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar termasuk wacana ekspositori. Wacana ini dapat berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan atau memeparkan sesuatu. Isi wacana lebih menjelaskan dengan cara menguraikan bagian-bagian pokok pikiran. Tujuan yang ingin dicapai melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu.
Wacana ekspositori dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, berbentuk perbandingan, uraian kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan orientasi pada meteri yang dijelaskan secara rinci atau bagian demi bagian.
6. Wacana Dramatik
Wacan dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal dengan sebutan ‘sandiwara’, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama.


7. Wacana Epistolari
Wacana epistolari digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea penutup.
8. Wacana Seremonial
Wacana seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat bahasa. Wacan seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran, dsb.
E.  Wacana Berdasarkan Bentuk
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:57-59), wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1.        Wacana prosa
Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana ini didapat dan tertulis atau lisan, dapat berupa wacana langsung, dapat pula dengan pembeberan atau penuturan. Contoh: novel, cerpen, tesis, skripsi, dan lain-lain.
2.        Wacana puisi
Wacana puisi adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi baik secara tertulis maupun lisan.
3.        Wacana drama
Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk katalog baik secara tertulis maupun secara lisan.

Menurut pendapat Robert Longacre (dalam Mulyana, 2005:47-51) wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1. Wacana naratif
Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup.
2. Wacana Prosedural
Wacana prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik.
3. Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif. Bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan rasional
4. Wacana Hortatori
Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya adalah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.
5. Wacana Dramatik
Menurut Menurut Mulyana (2005:50) wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di didalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.
Contoh wacana dramatik:
Ibu         : Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.
Anak      : Maksud ibu?
Ibu         : Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek. Kamu harus segera mencari istri.
Anak      : Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi istri dan anak-anak saya.
Ibu         : Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.
Anak      : Terimakasih, Bu.
6. Wacana Epistoleri
Menurut Mulyana (2005:50) wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam surat-menyurat. Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana ini diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alinea penutup.
7. Wacana Seremonial
Menurut Mulyana (2005:51) wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan semonial (upacara). Karena erat kaitannya dengan konteks situasi dan kondisi yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak digunakan di sembarang waktu. Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus dalam Bahasa Jawa. Wacana ini umumnya tercipta kerena tersedianya konteks sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana seremonial terdiri dari alinea pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri alinea penutup. Contoh wacana ini adalah pidato dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten)
F. Wacana Berdasarkan Isi
Menurut Mulyana (2005:57-63) klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal ini disebabkan antara lain, oleh tersedianya ruang dalam berbagai media yang secara khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi wacana sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau muatan tentang hal yang ditulis, disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).
Berdasarkan isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana kriminalitas. Wacana yang berkembang dan digunakan secara khusus dan terbatas pada ‘dunia’-nya itu, dapat juga disebut sebagai register, yaitu pemakaian bahasa dalam suatu lingkungan dan kelompok tertentu dengan nuansa makna tertentu pula.
1. Wacana Politik
Wacana politik berkaitan dengan masalah politik.
2. Wacana Sosial
Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.


3. Wacana ekonomi
Wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi, ada beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Contoh ungkapan-ungkapan register ekonomi seperti persaingan pasar, biaya produksi tinggi, langkanya sembako, konsumen dirugikan, inflasi, evaluasi, harga saham gabungan, mata uang, dan sebagainya.
4. Wacana budaya
Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat ini makna ‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewicanaan ini, kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’. Wilayah tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sabagai representasi aktivitasnya yang kemudian disebut wacana budaya.
5. Wacana militer
Wacana jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instasi militer dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya dikenal oleh kalangan militer. Contoh istilah dalam wicana militer seperti operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit, veteran, dan lain-lain.
6. Wacana hukum dan kriminalitas
Persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. Contoh istilah yang digunakan dalam wacana hukum dan kriminalitas seperti tersangka, tim pembela, kasasi, vonis, hakim.
7. Wacana olahraga dan kesehatan
Wacana olahraga dan kesehatan berkaitan dengan masalah olahraga dan kesehatan. Masalah yang berkaitan dengan kesehatan misalnya, muncul kalimat ”Sempat joging 10 menit, didiagnosis jantung ringan”. Istilah joging adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu, munculnya istilah ’jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih belum mengkhawatirkan).

















Henry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara wacana.
T. Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana (Pemahaman dan hubungan antar unsur). Bandung: PT. UNESCO.