HAKIKAT
WACANA
A. Pengertian: wacana, teks, konteks, ko-teks
1.
Wacana
Istilah
wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Menurut
Alwi, dkk (2003:42), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga
membentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Menurut Tarigan
(dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang
nyata. Lebih lanjut, Syamsuddin (1992:5) menjelaskan pengertian wacana sebagai
rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal
(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang
koheren, dibentuk dari unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.
Dari
beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan
bahasa yang lengkap yang disajikan secara teratur dan membentuk suatu makna.
2.
Teks
Seringkali istilah wacana atau discourse dikacaukan pengertiannya dengan teks. Halliday dan Hasan
(1976) menyatakan bahwa wacana tidak sama dengan teks. Mereka membedakan teks
sebagai suatu yang mengacu pada bahasa tulis, sedangkan wacana pada bahasa
lisan (Oetomo, 1993: 4). Sejalan dengan ini Widdowson (1979) juga mengemukakan
bahwa teks merupakan unsur permukaan yang berkaitan dengan keutuhan (kohesi),
dan wacana berada pada struktur bathin
yang lebih berkaitan dengan koherensi. Selanjutnya, Brown danYule (1996: 6)
menyatakan bahwa teks digunakan sebagai istilah teknis untuk mengacu pada
rekaman verbal suatu tindak atau peristiwa komunikasi.
3.
Konteks
Secara etimologi kata konteks berasal dari bahasa
Inggris context yang berarti (1)
hubungan kata-kata (2) suasana, keadaan (Echolds dan Hassan, 1989: 143). Dari
batasan secara etimologis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks ini pada
dasarnya adalah segala sesuatu (benda, keadaan, suasana) yang berada di sekitar
wacana yang berpengaruh atau mendukung terhadap keterpahaman wacana yang
bersangkutan.
Leech (1983) menyatakan konteks adalah
segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra
tutur serta yang menyertai dan mewadai sebuah tuturan. Selanjutnya Schiffrin
(1994) membedakan antara kontek dengan teks dengan menjelaskan bahwa teks
merupakan isi linguistik dari tuturan-tuturan, arti semantik dari kata-kata,
ekspresi, dan kalimat. Teks juga merupakan sistem kebahasaan yang terdiri atas
beberapa komponen yang saling berhubungan dan masing-masing komponen tersebut
juga mempunyai otonomi. Adapun konteks adalah “pengetahuan”, “situasi”, dan
“teks”.
Cook (1994) membedakan pengertian konteks
menjadi dua yaitu, konteks dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas.
Dalam pengertian sempit, konteks mengacu pada faktor di luar teks. Sedang dalam
pengertian luas, konteks dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yaang relevan
dengan ciri dunia dan ko-teks.
4.
Ko-teks
Ko-teks menurut (Cooks, 1994) adalah
hubungan antar wacana yang merupakan lingkungan kebahasaan yang melingkupi
suatu wacana. Dengan begitu makna ujaran ditentukan oleh teks sebelum dan
sesudahnya. Ko-teks ini dapat berwujud ujaran, paragraf, atau wacana. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ko-teks adalah konteks yang bersifat fisik,
yakni konteks lingkungan.
Koteks suatu kata adalah kata-kata lain yang
digunakan di dalam frasa atau kalimat yang sama. Koteks mempunyai pengaruh yang
kuat dalam penafsiran makna. Mey (1993) mendefinisikan ko-teks sebagai sebuah
kalimat (tunggal ataupun ganda) yang merupakan bagian dari teks yang (kurang
lebih secara langsung) mengelilinginya. Ko-teks dari tuturan semacam ini tidak
memadai untuk memahami kata-kata, kecuali jika mencakup sebuah pemhaman dari
tindak-tindak yang terjadi sebagai bagian dan hasil dari kata-kata tersebut.
untuk memahami tingkah laku linguistik orang, kita perlu mengetahui segala hal
tentang penggunaan bahasa mereka; yaitu, kita harus melihat lebih jauh dari
sekedar ko-teks tuturan dan memperhatikan keseluruhan lingkungan linguistik ke
dalam pandangan kita.
Hal ini berarti bahwa kita harus memperluas
visi kita dari ko-teks menjadi konteks: Yaitu, keseluruhan dari lingkungan
(bukan hanya linguistik) yang mengelilingi produksi bahasa.
B. Hubungan
Wacana dengan
Subsistem Kajian Bahasa
Kajian tentang wacana tidak bisa dipisahkan dengan kajian bahasa
lainnya, baik pragmatik maupun keterampilan berbahasa.
1.
Wacana dan Pragmatik
Pragmatik berhubungan dengan wacana melalui bahasa dan konteks.
Dalam hal ini dapat dibedakan tiga hal yang selalu berhubungan yaitu sintaksis,
semantik dan pragmatik. Sintaksis merupakan hubungan antar unsur, semantik
adalah makna, baik dari setiap unsur maupun makna antar hubungan (pertimbangan
makan leksikal dan gramatikal), dan pragmatik berhubungan dengan hasil ujaran
(pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca)
2.
Hubungan Gramatikal dan
Semantik dalam Wacana
Hubungan antarproposisi yang terdapat pada wacana (kalimat) dapat
dipertimbangkan dari segi gramatika (memiliki hubungan gramatikal) dan dari
segi semantik (hubungan makna dalam setiap proposisi)
a)
Hubungan Gramatikal
Unsur-unsur gramatikal yang mendukung wacana dapat berupa.
(1) Unsur yang berfungsi sebagai konjungsi (penghubung) kalimat atau
satuan yang lebih besar, seperti dengan demikian, maka itu, sebabnya, dan misalnya.
(2) Unsur kosong yang dilesapkan mengulangi apa yang telah diungkapkan
pada bagian terdahulu (yang lain) misalnya: Pekerjaanku salah melulu,
yang benar rupanya yang terbawa arus.
(3) Kesejajaran antarbagian, misalnya: Orang mujur belum tentu jujur.
Orang jujur belum tentu mujur.
(4) Referensi, baik endofora (anafora dan katafora) maupun eksofora.
Referensi (acuan) meliputi persona, demonstratif, dan komparatif.
(5) Kohesi leksikal
Kohesi leksikal dapat terjadi melalui diksi (pilihan
kata) yang memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu.
Kohesi leksikal dapat berupa pengulangan, sinonimi dan hiponimi, serta
kolokasi.
(6) Konjungsi
Konjungsi merupakan unsur yang menghubungkan konjoin
(klausa/kalimat) di dalam wacana.
b)
Hubungan semantik
Hubungan semantik merupakan hubungan
antarproposisi dari bagian-bagian wacana. Hubungan antarproposisi dapat berupa
hubungan antar klausa yang dapat ditinjau dari segi jenis kebergantungan dan
dari hubungan logika semantik. Hubungan logika semantik dapat dikaitkan dengan
fungsi semantik konjungsi yang berupa (1) ekspansi (perluasan), yang meliputi
elaborasi, penjelasan/penambahan, dan (2) proyeksi, berupa ujaran dan gagasan
3.
Wacana dan Keterampilan
Berbahasa
Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan
berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif , yaitu
berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
C.
Perkembangan Kajian Wacana
Istilah wacana pertama kali
diperkenalkan oleh Harris (1952) dengan mengkaji kaidah bahasa dan menjelaskan
bagaimana kalimat-kalimat dalam suatu teks dihubungkan oleh semacam tatabahasa
yang diperluas (Cook, 1989:13), dan saat itu Harris banyak ditentang oleh para
linguis Amerika yang sepaham dengan Franz Boas, Edward Sapir, dan
Bloofield. Menurut kelompok linguis
tersebut, Harris melawan arus, dan kajian bahasa sepatutnya berfokus pada
bentuk dan substansi bahasa itu sendiri, bukan aspek lain seperti yang dikaji
Harris.
Di Eropa (terutama Inggris dan Jerman), tahun 1961 muncul tata bahasa
sistemik yang banyak dipelopori oleh Halliday. Dalam kajiannya, banyak
dilakukan analisis pengaturan tematik terhadap kalimat, hubungan antarakalimat,
dan wacana. Ancangan ini sebenarnya telah lama disarankan oleh linguis Eropa,
seperti Bronislaw Malinowski, Vladimir Propp, Mathesius, Karl Buhler, Louis
Hjelmslev, dan Firth. Selanjutnya, di Perancis banyak berkembang analisis
wacana dengan pendekatan semiotik, dengan tokoh-tokoh seperti Todorov, Barthes,
Greimas, dan Eco.
Tahun 1964 di Amerika, Dell Hymes mengembangkan ancangan
sosiolinguistik dalam pengkajian wicara, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang
nantinya akan menjadi kajian wacana yang luas dan berkembang. Setelah itu,
analisis wacana di Amerika diteruskan oleh ahli linguistik tagmemik, seperti
Knneth Pike (1967) dan konsepsi yang dikembangkan lebih luas daripada Harris.
Pada saat itu Pike menganjurkan bahwa penelitian bahasa yang tidak mengenal
kamus dan tidak ada informan bilinggual,
dalam meneliti harus memperhatikan segala nuansa makna bahasa dalam penggunaan, yakni konteks sosialnya.
Awal tahun 1970-an banyak telaah filsafat mengenai tindak ujar, yang
dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filsof ini, uajaran verbal
bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat
digunakan dalam suatu konteks sosial, suatu kalimat tidak hanya memiliki makna
kalimat itu sendiri, tetapi juga
mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna
antarhubungan antara si penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya,
memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5).
Dalam kajian antropologi juga berkembang
etnografi penuturan (etnografi komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa
komunikasi dalam berbagai budaya; seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell
Hymes. Dari bidang sosiologi muncul kajian sosiologi mikro yang mengkaji
penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang dikenal
etnometodologi. Kajiannya juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan
tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff.
Tradisi analisis wacana benar-benar berkembang setelah tahun 1970-an.
Pada era ini banyak bermunculan teori
wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983), dan van Dijk (1985).
Pokok persoalan atau fokus kajian pada era ini juga telah meluas, seperti
tentang perbedaan gender, politik, emansipasi manusia dan masyarakat, dalam
kaitannya dengan wacana. Demikian juga tahun 1990-an, misalnya munculnya
tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough
(1998). Tahun 2000-an kajian wacana berkembang lebih kaya, misalnya munculnya
kajian pengaruh gaya kognitif terhadap
produksi wacana (Semino dan Culpeper, 2002).
FUNGSI
BAHASA DAN KAITANNYA
DENGAN ANALISIS WACANA
Secara umum fungsi utama
bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Fungsi bahasa tersebut dikelompokkan
kepada 2 kategori utama yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional.
Brown dan Yule (1996: 1) menjelaskan fungsi transaksional bertujuan untuk
menyampaikan informasi faktual atau proposisional. Sedangkan fungsi
interaksional bertujuan untuk memantapkan dan memelihara hubungan sosial dan
sikap-sikap pribadi.
Wacana dengan unit
konversasi memerlukan unsur komunikasi yang berupa sumber (pembicara san
penulis) dan penerima (pendengar dan pembaca). Semua unsur komunikasi
berhubungan dengan fungsi bahasa (Djajasudarma, 1994:15). Fungsi bahasa
meliputi (1) fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan
pemaparan secara ekspositoris, (2) fungsi fatik (pembuka konversasi) yang
menghasilkan dialog pembuka, (3) fungsi estetik, yang menyangkut unsur pesan
sebagai unsur komunikasi, dan (4) fungsi direktif yang berhubungan dengan pembaca
atau pendengar sebagai penerima isi wacana secara langsung dari sumber.
Selanjutnya Halliday (1970,
1973) dalam Leech (1993:86) membedakan tiga fungsi bahasa atas fungsi
idesional, interpersonal, dan tekstual. Pada fungsi idesional bahasa dipakai
untuk alat pengungkap sikap penutur dan pengaruhnya pada sikap dan perilaku
penutur. Sedangkan pada fungsi tekstual bahasa difungsikan sebagai alat untuk
membangun dan menyusun sebuah teks. Lebih lanjut Halliday menjelaskan bahwa
interpersonal terdiri atas fungsi ekspresif dan informatif sebagaimana telah
dikemukakan Popper.
Pada dasarnya pengenalan
terhadap berbagai fungsi bahasa akan sangat membantu dalam penelaahan wacana.
Sebaliknya tanpa pengenalan terhadap berbagai fungsi bahasa akan dapat menjadi
halangan di dalam menginterpretasikan sebuah wacana. Seorang penganalisis
wacana di dalam menganalisis sebuah wacana harus selalu mengaitkan
bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dengan tujuan dan fungsi di mana dan untuk
apa bahasa itu digunakan dalam wacana tersebut.
Analisis wacana pada
prinsipnya adalah analisis satuan-satuan bahasa di atas kalimat yang digunakan
dalamproses komunikasi. Untuk itu analisis tidak dapat dibatasi pada
pembentukan bahasa yang bebas dari tujuan dan fungsinya. Karena itu, wacana
berkaitan erat dengan fungsi bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar