JENIS-JENIS WACANA
A.
Wacana Berdasarkan Realitas
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana
yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language
exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada
struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai
rangkaian nonbahasa yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna
(bahasa isyarat). Wacana nonbahasa yang berupa isyarat, antara lain berupa:
1.
Isyarat dengan gerak-gerik sekitar
kepala atau muka, meliputi:
a.
Gerakan mata, antara lain melotot,
berkedip, menatap tajam (dapatkah kita menentukan maknanya. Misalnya, melotot =
marah; melotot = ’menyuruh pergi’, dan sebagainya).
b.
Gerak bibir, antara lain senyum,
tertawa, meringis.
c.
Gerak kepala, antara lain
mengangguk, menggeleng.
d.
Perubahan raut muka (wajah), antara
lain mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam.
2.
Isyarat yang ditunjukkan melalui
gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
a.
Gerak tangan, antara lain melambai,
mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk
dahi.
b.
Gerak kaki, antara lain
mengayun-ayun, menghentak-hentakkan, menendang-nendang.
c.
Gerak seluruh tubuh, antara lain
seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana sebagai teks.
B. Wacana Berdasarkan Media Komunikasi
1.
Wacana tulis
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written discourse
adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis.
Menurut Mulyana (2005:51-52) wacana tulis
(written discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan.
Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan
melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat
efektif dan efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu
pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.
Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan
teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana yang tampaknya
terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua istilah tersebut
kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi istilah teks atau naskah
tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf) sedangkan gambar tidak termasuk
didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat dimasukkan pula kedalam jenis
wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari Mukti Kridalaksana dalam
Mulyana (2005:52), wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, yang dalam
hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana
dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan yang
utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang
lengkap dan cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud antara lain:
a.
Sebuah teks/ bahan tertulis yang
dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu secara beruntun
dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah.
b.
Sebuah alinea, merupakan wacana,
apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat dianggap sebagai satu
kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
c.
Sebuah wacana (khusus bahasa
Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan
subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
2.
Wacana lisan
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken discourse
adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan.
Menurut Mulyana (2005:52) wacana lisan
(spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau
langsung dalam bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut sebagai tuturan
(speech) atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasrnya bahasa
kali pertama lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang
paling utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang
sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai
sasaran penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis
dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.
Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana
tulis. Beberapa kelebihan wacana lisan di antaranya ialah:
a.
Bersifat alami (natural) dan
langsung.
b.
Mengandung unsur-unsur prosodi
bahasa (lagu, intonasi).
c. Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur
kalimat).
d. Berlatar belakang konteks situasional.
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau
dihasilkan dalam waktu dan situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua
bentuk wacana lisan terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai siapa
yang berbicara (kepada siapa) apabila (waktunya). Dengan perkataan lain, dalam
wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti:
a. Siapa yang berbicara
b. Kepada siapa
c. Apabila; pada saat yang nyata
Menurut T. Fatimah Djajasudarma
(1994:7) sebagai media komunikasi, wujud wacana sebagai
media komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan) lisan dan tulis. Sebagai
media komunikasi wacana lisan, wujudnya berupa:
a.
Sebuah percakapan atau dialog yang
lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi.
b.
Satu penggalan ikatan percakapan
(rangkaian percakapan yang lengkap, biasanya memuat: gambaran situasi, maksud,
rangkaian penggunaan bahasa) yang berupa:
Ica : .........................
Ania : “Apakah kau punya korek?”
Rudi : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi.”
Penggalan wacana ini berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi
yang komunikatif.
C. Wacana Berdasarkan Cara Pengungkapan
1.
Wacana langsung
Wacana langsung atau direct discourse adalah kutipan
wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi (Kridalaksana dalam Henry Guntur Tarigan,
1987:55).
2.
Wacana Tidak Langsung
Wacana tidak langsung atau indirect discourse adalah
pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh
pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara
lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya. (Kridalaksana, 1964: 208-9).
D. Wacana Berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)
1.
Wacana naratif (narasi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:8) wacana naratif
adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian
(peristiwa) melalui penonjolan pelaku. Isi wacana ditujukan ke arah memperluas
pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan
cerita berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:45-46) wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi
terdapat unsu-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan
peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur pergeseran
waktu itu sangat pentng. Unsur pelaku atau tokoh merupakan pokok yang dibicarakan,
sedangkan unsur peristiwa adalah hal-hal yang dialami oleh sang pelaku.
Wacana narasi pada umumnya ditujukan untuk
menggerakan aspek emosi. Dengan narsi, penerima dapat membentuk citra atau
imajinasi. Aspek intelektual tidak banyak digunakan dalam memahami wacana
narasi.
2.
Wacana deskriptif (deskripsi)
Menurut T.
Fatimah Djajasudarma (1994:11) wacana deskriptif berupa rangkaian
tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman
maupun pengetahuan penuturnya. Wacana itu biasanya bertujuan mencapai
penghayatan dan imjinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca
seolah-olah merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Wacana deskriptif
ini, ada yang hanya memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang
memaparkannya secara imajinatif. Pemaparan secara objektif bersifat
menginformasikan sebagaimana adanya, sedangkan pemaparan secara imajinatif
bersifat menambahkan daya khayal. Daya khayal yang didapatkan didalam novel
atau cerpen, atau isi karya sastra pada umumnya.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:37-38) wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima
pesan agar membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal. Aspek
kejiwaan yang dapat mencerna wacana tersebut adalah emosi. Hanya melalui emosi,
seseorang dapat membentuk citra atau imajinasi tentang sesuatu. Oleh sebab itu,
ciri khas wacana deskripsi ditandai dengan pengggunaan kata-kata atau ungkapan
yang bersifat deskriptif, seperti rambutnya ikal, hidungnya mancung, dan
matanya biru. Dalam wacana ini biasanya tidak digunakan kata-kata yang
bersifat evaluatif yang terlalu abstrak seperti, tinggi sekali, berat badan
tidak seimbang, matanya indah, dan sebagainya.
Wacana deskripsi banyak digunakan dalam katalog
penjualan dan juga data-data kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana
deskripsi umumnya kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat
objektif. Wacana deskripsi cenderung tidak mempunyai penanda pergeseran waktu
seperti dalam wacana narasi.
3.
Wacana Prosedural (Eksposisi)
Menurut T.
Fatimah Djajasudarma (1994:9) wacana prosedural dipaparkan dengan
rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara
kronologis. Wacana prosedural disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara
mengerjakan atau menghasilkan sesuatu.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima
(pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi
konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima. Oleh sebab itu,
untuk memahami wacana eksposisi, diperlukan proses berpikir.
Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Oleh karena itu,
wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses atau prosedur suatu
aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan prosedur, kalimat-kalimat yang
digunakan dapat berupa kalimat perintah disertai dengan kalimat deklaratif.
4.
Wacana Hortatori (Argumentasi)
Menurut
Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana
argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi
pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang
didasarkan pertimbangan logis maupun emosional (Rottenberg, 1988:9). Senada
dengan itu, Salmon (1984:8) memberikan definisi argumentasi sebagai seperangkat
kalimat yang disusun sedemikian rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi
sebagai bukti-bukti yang mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat
itu.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10) wacana
hortatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula
berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk menyakinkan. Wacana ini tidak
disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil. Wacana ini digunakan
untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar terpikat akan suatu pendapat
yang dikemukakan. Isi wacana selalu berusaha untuk memiliki pengikut atau
penganut, atau paling tidak menyetujui pendapat yang dikemukakannya itu,
kemudian terdorong untuk melakukan atau mengalaminya. Yang termasuk wacana
hortatori antara lain khotbah, pidato tentang politik.
Sebuah wacana dikategorikan argumentasi apabila
bertolak dari adanya isu yang sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra
tutur. Dalam kaitannya dengan isu tersebut, penutur berusaha menjelaskan
alasan-alasan yang logis untuk meyakinkan mitra tuturnya (pembaca atau
pendengar). Biasanya, suatu topik diangkat karena mempunyai nilai, seperti
indah, benar, baik, berguna, efektif atau sebaliknya.
Pada dasarnya, kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam
mengemukakan tiga prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan, alasan, dan
pembenaran. Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur dalam menentukan posisi. Alasan
mengacu pada kemampuan penutur untuk mempertahakn pernyataannya dengan
memberikan alasan-alasan yang relevan. Pembenaran mengacu pada kemampuan
penutur dalam menunjukkan hubungan antara pernyataan dan alasan.
5. Wacana Ekspositori
Menurut T.
Fatimah Djajasudarma (1994:10-11) wacana
ekpositori bersifat menjelaskan sesuatu. Biasanya berisi pendapat atau simpulan
dari sebuah pandangan. Pada umumnya, ceramah, pidato, atau artikel pada majalah
dan surat kabar termasuk wacana ekspositori. Wacana ini dapat berupa rangkaian
tuturan yang menjelaskan atau memeparkan sesuatu. Isi wacana lebih menjelaskan
dengan cara menguraikan bagian-bagian pokok pikiran. Tujuan yang ingin dicapai
melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu.
Wacana ekspositori dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, berbentuk
perbandingan, uraian kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan orientasi
pada meteri yang dijelaskan secara rinci atau bagian demi bagian.
6. Wacana Dramatik
Wacan dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit
bagian naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal
dengan sebutan ‘sandiwara’, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama.
7. Wacana Epistolari
Wacana epistolari digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan
bentuk tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea
penutup.
8. Wacana Seremonial
Wacana seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di
masyarakat bahasa. Wacan seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara
perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran, dsb.
E. Wacana Berdasarkan Bentuk
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:57-59), wacana berdasarkan bentuknya dapat
dibagi atas:
1.
Wacana prosa
Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan dalam
bentuk prosa. Wacana ini didapat dan tertulis atau lisan, dapat berupa wacana
langsung, dapat pula dengan pembeberan atau penuturan. Contoh: novel, cerpen,
tesis, skripsi, dan lain-lain.
2.
Wacana puisi
Wacana puisi adalah wacana yang disampaikan dalam
bentuk puisi baik secara tertulis maupun lisan.
3.
Wacana drama
Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam
bentuk drama, dalam bentuk katalog baik secara tertulis maupun secara lisan.
Menurut
pendapat Robert Longacre (dalam Mulyana, 2005:47-51) wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1. Wacana naratif
Wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk
menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang
dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif
umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup.
2. Wacana Prosedural
Wacana prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan
bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya
berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu
berhasil dengan baik.
3. Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif. Bahasa
yang digunakan cenderung denotatif dan rasional
4. Wacana Hortatori
Wacana hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar
tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya
adalah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui,
pada hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.
5. Wacana Dramatik
Menurut Menurut Mulyana (2005:50) wacana dramatik adalah bentuk wacana yang
berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan
sifat narasi di didalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron,
pentas wayang orang, ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.
Contoh wacana dramatik:
Ibu : Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah
tua.
Anak : Maksud ibu?
Ibu : Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi
nenek. Kamu harus segera mencari istri.
Anak : Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti
saya menghidupi istri dan anak-anak saya.
Ibu : Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu
buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.
Anak : Terimakasih, Bu.
6. Wacana Epistoleri
Menurut Mulyana (2005:50) wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam
surat-menyurat. Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah
menjadi kebiasaan atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana ini diawali
oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alinea penutup.
7. Wacana Seremonial
Menurut Mulyana (2005:51) wacana seremonial adalah bentuk wacana yang
digunakan dalam kesempatan semonial (upacara). Karena erat kaitannya dengan
konteks situasi dan kondisi yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak
digunakan di sembarang waktu. Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus
dalam Bahasa Jawa. Wacana ini umumnya tercipta kerena tersedianya konteks
sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana
seremonial terdiri dari alinea pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri alinea
penutup. Contoh wacana ini adalah pidato dalam upacara peringatan hari-hari
besar, upacara pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten)
F. Wacana Berdasarkan Isi
Menurut Mulyana (2005:57-63) klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal ini
disebabkan antara lain, oleh tersedianya ruang dalam berbagai media yang secara
khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi wacana
sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau muatan tentang hal yang ditulis,
disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).
Berdasarkan isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana
sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana
kriminalitas. Wacana yang berkembang dan digunakan secara khusus dan terbatas
pada ‘dunia’-nya itu, dapat juga disebut sebagai register, yaitu
pemakaian bahasa dalam suatu lingkungan dan kelompok tertentu dengan nuansa
makna tertentu pula.
1. Wacana Politik
Wacana politik berkaitan dengan masalah politik.
2. Wacana Sosial
Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari
masyarakat.
3. Wacana ekonomi
Wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi,
ada beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Contoh
ungkapan-ungkapan register ekonomi seperti persaingan pasar, biaya produksi
tinggi, langkanya sembako, konsumen dirugikan, inflasi, evaluasi, harga saham
gabungan, mata uang, dan sebagainya.
4. Wacana budaya
Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat
ini makna ‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewicanaan
ini, kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat,
sikap hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’.
Wilayah tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sabagai
representasi aktivitasnya yang kemudian disebut wacana budaya.
5. Wacana militer
Wacana jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instasi
militer dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya
dikenal oleh kalangan militer. Contoh istilah dalam wicana militer seperti
operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit, veteran, dan
lain-lain.
6. Wacana hukum dan kriminalitas
Persoalan hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya
bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan.
Kriminalitas menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. Contoh
istilah yang digunakan dalam wacana hukum dan kriminalitas seperti
tersangka, tim pembela, kasasi, vonis, hakim.
7. Wacana olahraga dan kesehatan
Wacana olahraga dan kesehatan berkaitan dengan masalah olahraga dan
kesehatan. Masalah yang berkaitan dengan kesehatan misalnya, muncul kalimat
”Sempat joging 10 menit, didiagnosis jantung ringan”. Istilah joging
adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena
itu, munculnya istilah ’jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali
bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit
jantung pada stadium awal (masih belum mengkhawatirkan).
Henry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara wacana.
T. Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana (Pemahaman
dan hubungan antar unsur). Bandung: PT. UNESCO.
The 5 best casinos with slot machines - 축구 승무패 32 회차 카지노 카지노 카지노사이트 카지노사이트 카지노 카지노 76Winny Casino - Thtopbet
BalasHapus