Konsep Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan
koherensi tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini
merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Sebuah teks terutama teks tulis
memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk
teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam
wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk
ikatan sintaktikal. Sejalan dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam
Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh menayaratkan
kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu
kohesi gramatika dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah
referensi, subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi
leksikal adalah sinonimi, repetisi, kolokasi.
Sejalan dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa
kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah
kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan
Abdul Rani, Bustanul arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah
hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsure bahasa.
Gutwinsky (dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu
pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun
tataran leksikal. Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk
mengetahui pemahaman tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan
sintaksis). Oleh karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat
kesesuaian bentuk bahasa baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun
konteks (situasi luar bahasa). Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada
hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan
untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut
H. G. Tarigan (dalam Mulyana, 2005: 26) mengemukakan bahwa penelitian mengenai
kohesi menjadi bagian dari kajian aspek formal bahasa. Oleh karena itu,
organisasi dan struktur kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik
gramatikal.
Brown dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur
pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai
sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat
Anton M. Moeliono ( dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan
hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan
unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks;
pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan
antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah
pengertian yang apik. Maka untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh diharapkan
kalimat-kalimatnya harus utuh. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah
suatu unsur dalam suatu wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan
ketergantungan unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana sering
ditandai oleh kehadiran penanda khusus yang bersifat lingual formal.
Kohesi dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pembedaan tesebut dapat di jabarkan
dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini
merupakan bagian dari kohesi endosentris. Karena kohesi dibagi menjadi dua ada
kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri dari:
referensi, subtitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi. Sedangkan konjungsi
leksikal terdiri dari: sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, repetisi dan
ekuivalensi.
Untuk membentuk wacana yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan
hubungan kohesi. Menurut Cook (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 872) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu
memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak cukup meggunakan
penanda katon tersebut. Ada faktor lain seperti relevansi dan faktor tekstual
luar (extratextual factor) yang ikut menentukan keutuhan wacana.
Kesesuaian antara teks dan dunia nyata dapat membantu menciptakan suatu kondisi
untuk membantuk wacana yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang
juga membantu dalam menciptakan koherensi teks. Agar wacana yang kohesif baik,
maka perlu dilengkapi dengan koherensi. Menurut Abdul Rani, dkk (2006:89) yang
dimaksud koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam
wacana.
Mulyana (2005: 30) di dalam bukunya yang berjudul “Kajian Wacana” banyak
mengutip pendapat-pendapat ahli berkaitan dengan koherensi. Adapun pendapat
tersebut adalah sebagai berikut, menurut H. G. Tarigan (1987) istilah koherensi
mengandung makna pertalian, dalam konesp kewacanaan berarti pertalian makna
atau isi kalimat. Gorys Keraf (1984) menyatakan bahwa koherensi juga berarti
hubungan timbal balik yang serasi antarunsur dalam kalimat. Sejalan dengan
pendapat tersebut Wahjudi (1989) berpendapat bahwa hubungan koherensi
keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, sehingga
kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Sedangkan Samiati (1989) berpendapat
bahwa wacana yang koheren memiliki cirri-ciri: susunanya teratur dan amanatnya
terjalin rapi, sehingga muda diintepretasikan. Pendapat-pendapat tersebut
diperkuat oleh pendapat Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2006: 30) yang
menegaskan bahwa berarti keterpaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu
teks atau tuturan.
Dalam sebuah wacana aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk
menjaga pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk
mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya
hubungan-hubungan makana yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantik.
Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang
terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang
bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana
pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantic, yakni
semantic kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab
beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti)
di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Keberadaan unsure koherensi sebetulnya
tidak hanya pada satuan teks semata (scara formal), malainkan pada kemampuan
pembaca atau pendengar dlam menghubungkan dan menginterpretasikan suatu bentuk
wacana yang diterimanya. Maka dari pendapat tersebut diperkuat dan disimpulkan
oleh Mulyana (2005:31) hubungan koherensi adalah sutau rangkaian fakta dan
gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara
implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interpretasi. Pendapat tersebut juga diyakini oleh Yayat Sudaryat (2008: 152)
koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wAcana. Meskipun
begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan
satu-satunya cara. Maka koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai
organisasi semantic, wadah gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk
mencapai maksud dan tuturan yang tepat.
Pemarkah Kohesi dan Koherensi
1.
Pemarkah
Kohesi
a)
Referensi
atau pengacuan
Adalah
salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satua lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mendahului atau mengikutinya.berdasarkan
tempatnya pengacua ini dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
Endofora,
acuannya terdapat dalam teks wacana.
b.
Eksofora,
pengacuannya berada di luar teks wacana.
b)
Subsitusi
penyulihan
Subsitusi
adalah salah satu jeis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual
tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk
memperoleh unsur pembeda (sumarlam, 2003: 2008).
Contoh: banya benar buah mangga itu berilah
saya beberapa.
Jadi di
sini beberapa adalah subsitusi dari mangga.
c)
Elipsis atau
pelesapan
Adalah
salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan
satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya (Suarlam, 2003: 30).
Elipsis disebut juga dengan penghilangan salah satu bagian dari unsur kalimat
yang sering ditemukan dalam wacana (Ramlan,1984:18)
d)
Konjungsi
atau perangkaian
Adalah
salah satu jeniskohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan
unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2003: 32).
Secara umum konjungsi dibagi menjadi lima macam yaitu: konjungsi koordinatif,
konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif, konjungsi antar kalimat, dan
konjungsi antar paragraf.
e)
Repetisi atau
pengulangan
Merupakan
slaah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Repetisis
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat)
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalams ebuah konteks yang sesuai
(Sumarlam 2003:35).
2.
Pemarkah
koherensi
a.
Hubungan
makna kausalitas
Hubungan
makna kausalitas adalah hubungan sebab akibat yng terjadi antar kalimat atau
paragraf, bagian yang satu bermakna sebab dan bagian yang lain bermakna akibat.
Contoh:
penulis menyadari skripsi itu masih banyak kekurangannnya. Untuk itu, penulis
berharap saran, kritik, dan masukkan yang kontruktif demi perbaikan
selanjutnya.
Kalimat
pertama bermakna sebab yaitu skripsi bnyak kekurangannya. Makna kedua sebagai
akibat yaitu penulis berharap saran.
b.
Hubungan
makna amplikatif
Amplikatif
itu berarti penjelasan. Hubungan seperti ini terjadi bila satu bagian tertentu
diperjelas oleh bagian lainnya secara semantis.
c.
Hubungan
makna tambahan
Hubungan
makna penambhan terjdi apabila bagian lain atau kalimat lain berfungsi sebagai
penambh yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar